1
Contoh Artikel Tentang Bahasa Indonesia - Inilah
sebuah contoh artikel tentang Bahasa Indonesia. Adapun artikel ini berjudul "Nasib
Bahasa Indonesia" yang ditulis oleh "Ahmad Khotim
Muzakka" dan pernah terbit disitus Harian Analisa pada, Jumat, 13 Jan
2012.
Berikut adalah contoh artikel tentang Bahasa Indonesia selengkapnya:
Bahasa Indonesia diproyeksikan menjadi bahasa internasional. Optimisme itu diungkapkan Ketua Komisi Harian Nasional Indonesia untuk UNESCO Arief Rahman, pada 15 November 2011. Menurutnya, bahasa Indonesia memiliki peluang menjadi bahasa Internasional karena tidak asing di telinga komunitas internasional. Khususnya di negara-negara tetangga. Peluang itu dinilai lebih besar dibandingkan berbagai bahasa di Eropa. (Kompas, 16/11)
"PBB baru menolak bahasa Jerman menjadi bahasa internasional karena hanya dipakai di Jerman," ujarnya. Arief Rahman menghimbau Badan Bahasa di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan lebih aktif mengampanyekan gerakan cinta bahasa Indonesia. Menurutnya, bahasa Indonesia harus digunakan secara aktif tidak hanya di sekolah, tapi juga dalam komunikasi sehari-hari.
Menilik Sejarah
Pada 16 Juni 1927, sidang Volksraad gaduh. Bahasa Indonesia digunakan dalam sidang Dewan Rakyat. Di zaman Hindia-Belanda berkuasa, menggunakan bahasa Indonesia dalam acara resmi menjadi sebuah paradoks; antara kebanggaan dan nasionalisme berhadapan dengan sikap inlandear sebagai bumi putra.
Ialah Jahja Datoek Kajo, anggota Volksraad kelahiran Kota Gadang 1 Agustus 1874. Ia menentang tradisi tidak menggunggulkan bahasa Indonesia. Azizah Etek, dalam buku Kelah Sang Demang, Jahja Datoek Kajo (2008) mencatat ketidaklaziman anggota Volksraad dari kalangan bumi putra menyampaikan pidato dengan bahasa Melayu (Indonesia).
Sebelum Jahja membuat geger sidang Volksraad itu, Haji Agus Salim pernah berbahasa Indonesia, tetapi diperingatkan oleh tuan Voorzitter. Namun Agus Salim menyangkal karena, "menurut Dewan saya punya hak untuk mengeluarkan pendapat dalam bahasa Indonesia." Kita bisa beranggapan bahwa kengototan Jahja menggunakan bahasa Indonesia terilhami oleh Agus Salim. Tapi, Jahja masih selangkah lebih maju. Dalam sebuah sesi, 22 Juni 1927, Jahja berpidato sambil menyentil anggota lain. Katanya, "Saya berharap kepada tuan-tuan yang hadir dalam Diwan Rakyat ini mau menyela pembicaraan saya. Dengan hormat saya minta supaya dilakukan bahasa Melayu, (Azizah Etek: 2008)"
Permintaan Jahja sangat politis dan berniat menaikkan harga diri bahasa dan orang Indonesia. Ia tak rela, di tanah sendiri, harus berbahasa dengan bahasa orang lain. Bukan karena ia tak mampu. Azizah Etek (2008: 30) mengingatkan sebagai seorang tamatan sekolah desa, sekolah kelas dua, Jahja tentu mampu berbahasa Belanda. Pilihan menggunakan bahasa Indonesia merupakan bentuk nasionalisme, dan membentuk identitas yang tidak diakui. Persoalan berbahasa di sidang Volksraad bukan sebatas masalah bagaimana pesan dapat dipahami oleh anggota lain. Jahja memberi contoh bagus merangkai martabat, membangun identitas, dan mengusulkan perubahan.
Jahja geram tatkala seorang wakil pemerintahan Belanda menjawab dengan bahasa Belanda disertai embel-embel bahwa kalau kurang jelas hendak bisa bertanya kepada Mochtar, salah seorang anggota. Dua alasan kegeramnnya, pertama; Jahja dianggap kurang paham bahasa Belanda, dan kedua; orang Belanda enggan berbahasa Indonesia. Menyikapi itu, Jahja berkelakar, "Tuan tentu memaklumi, bahwa sekalian bangsa dalam dunia ini lebih suka berbahasa di dalam bahasanya sendiri. Sebabnya perasaan Indonesier tinggal di orang Indonesier, perasaan Belanda di Belanda."
Pemicu
Buku Pesona Bahasa (2005) mencatat, mengutip penelitian The Summer Institute of Linguistic, terdapat 726 bahasa daerah di seluruh kawasan Indonesia. Bahasa-bahasa itu memiliki penuturnya masing-masing. Ada yang dituturkan jutaan, beberapa ribu, bahkan hanya dinikmati beberapa puluh saja. Nah, bahasa Indonesia mempertemukan bangsa-bangsa yang sudah memiliki bahasa tuturnya sendiri. Bahasa Indonesia berdiri di tengah sebagai penyambung banyak lidah.
Nasib bahasa Indonesia diperteguh kehadiran Sumpah Pemuda yang ditulis dan dibaca-jelaskan oleh Muhammad Yamin pada kongres 28 Oktober 1928. Sumpah pemuda menjadi titik lain penegasan identitas bangsa Indonesia dengan bahasa resmi; bahasa Indonesia. Teks itu berbunyi: Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Teks ini gagah di tengah banyaknya bahasa yang ada di Indonesia. Teks itu menyihir dan mempersatukan pluraritas bahasa di Indonesia. Kita bersatu dan tergerak dalam rima yang satu. Ia menjadi pemicu untuk sadar terhadap hakikat bangsa yang dihuni oleh banyak suku. Teks ini memikat sekaligus memberikan harapan agar bangsa Indonesia bersedia mempersatukan kehendak. Ya, teks itu ampuh dan jitu membawa alam bawah sadar manusia Indonesia dalam tegangan nasionalisme. Teks ini menyelamatkan kemungkinan bahasa Belanda dijadikan bahasa sehari-hari.
Langkah strategis sudah dirumuskan Kepala Badan Pusat Bahasa Kemdikbud Agus Dhar ma untuk memperluas jangkauan bahasa Indonesia. Rencananya, di setiap negara, akan ditambah pusat bahasa dan kebudayaan Indonesia. Sampai kini, ada 150 pusat bahasa dan kebudayaan Indonesia di 48 negara.
Yang harus kita waspadai sekarang ini adalah ketidakpercaya-dirian bangsa Indonesia memanggul identitasnya sebagai bangsa. Meskipun sudah merdeka puluhan tahun, kita masih terus didikte oleh bangsa lain. Kenyataan itu bisa dilihat dari betapa menjamurnya kursus-kursus bahasa asing di mana-mana. Kita memang sudah selayaknya menghadapi zaman globalisasi ini dengan mampu menguasai berbagai bahasa, terutama bahasa yang digunakan sebagai bahasa internasional, antara lain bahasa Inggris dan Arab. Tapi, kita pun mesti mempertanyakan pada diri kita, apakah sudah menggunakan bahasa Indonesia dengan sebaik-baiknya berbahasa. Hal terkecil misalnya bagaimana kita menulis pesan singkat, atau menulis status di jejaring sosial.
Sering saya jumpai, banyak orang yang tidak sadar kalau mereka telah merusak bahasa Indonesia dengan cara menyingkat atau mengganti dengan huruf-huruf alay. Untuk hal yang demikian ini, barangkali kita harus malu dengan Jahja yang begitu gigih memperjuangkan kelayakan bahasa Indonesia digunakan di sidang Volksraad yang angker itu. Atau deklarasi sumpah pemuda yang salah satu poinnya menjunjung bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu. Maka itu, nasib bahasa Indonesia mestinya menjadi tanggungjawab kita semua. Jadi, bukan hanya lembaga kebudayaan pemerintah saja yang harus menjaga.
Berikut adalah contoh artikel tentang Bahasa Indonesia selengkapnya:
Bahasa Indonesia diproyeksikan menjadi bahasa internasional. Optimisme itu diungkapkan Ketua Komisi Harian Nasional Indonesia untuk UNESCO Arief Rahman, pada 15 November 2011. Menurutnya, bahasa Indonesia memiliki peluang menjadi bahasa Internasional karena tidak asing di telinga komunitas internasional. Khususnya di negara-negara tetangga. Peluang itu dinilai lebih besar dibandingkan berbagai bahasa di Eropa. (Kompas, 16/11)
"PBB baru menolak bahasa Jerman menjadi bahasa internasional karena hanya dipakai di Jerman," ujarnya. Arief Rahman menghimbau Badan Bahasa di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan lebih aktif mengampanyekan gerakan cinta bahasa Indonesia. Menurutnya, bahasa Indonesia harus digunakan secara aktif tidak hanya di sekolah, tapi juga dalam komunikasi sehari-hari.
Menilik Sejarah
Pada 16 Juni 1927, sidang Volksraad gaduh. Bahasa Indonesia digunakan dalam sidang Dewan Rakyat. Di zaman Hindia-Belanda berkuasa, menggunakan bahasa Indonesia dalam acara resmi menjadi sebuah paradoks; antara kebanggaan dan nasionalisme berhadapan dengan sikap inlandear sebagai bumi putra.
Ialah Jahja Datoek Kajo, anggota Volksraad kelahiran Kota Gadang 1 Agustus 1874. Ia menentang tradisi tidak menggunggulkan bahasa Indonesia. Azizah Etek, dalam buku Kelah Sang Demang, Jahja Datoek Kajo (2008) mencatat ketidaklaziman anggota Volksraad dari kalangan bumi putra menyampaikan pidato dengan bahasa Melayu (Indonesia).
Sebelum Jahja membuat geger sidang Volksraad itu, Haji Agus Salim pernah berbahasa Indonesia, tetapi diperingatkan oleh tuan Voorzitter. Namun Agus Salim menyangkal karena, "menurut Dewan saya punya hak untuk mengeluarkan pendapat dalam bahasa Indonesia." Kita bisa beranggapan bahwa kengototan Jahja menggunakan bahasa Indonesia terilhami oleh Agus Salim. Tapi, Jahja masih selangkah lebih maju. Dalam sebuah sesi, 22 Juni 1927, Jahja berpidato sambil menyentil anggota lain. Katanya, "Saya berharap kepada tuan-tuan yang hadir dalam Diwan Rakyat ini mau menyela pembicaraan saya. Dengan hormat saya minta supaya dilakukan bahasa Melayu, (Azizah Etek: 2008)"
Permintaan Jahja sangat politis dan berniat menaikkan harga diri bahasa dan orang Indonesia. Ia tak rela, di tanah sendiri, harus berbahasa dengan bahasa orang lain. Bukan karena ia tak mampu. Azizah Etek (2008: 30) mengingatkan sebagai seorang tamatan sekolah desa, sekolah kelas dua, Jahja tentu mampu berbahasa Belanda. Pilihan menggunakan bahasa Indonesia merupakan bentuk nasionalisme, dan membentuk identitas yang tidak diakui. Persoalan berbahasa di sidang Volksraad bukan sebatas masalah bagaimana pesan dapat dipahami oleh anggota lain. Jahja memberi contoh bagus merangkai martabat, membangun identitas, dan mengusulkan perubahan.
Jahja geram tatkala seorang wakil pemerintahan Belanda menjawab dengan bahasa Belanda disertai embel-embel bahwa kalau kurang jelas hendak bisa bertanya kepada Mochtar, salah seorang anggota. Dua alasan kegeramnnya, pertama; Jahja dianggap kurang paham bahasa Belanda, dan kedua; orang Belanda enggan berbahasa Indonesia. Menyikapi itu, Jahja berkelakar, "Tuan tentu memaklumi, bahwa sekalian bangsa dalam dunia ini lebih suka berbahasa di dalam bahasanya sendiri. Sebabnya perasaan Indonesier tinggal di orang Indonesier, perasaan Belanda di Belanda."
Pemicu
Buku Pesona Bahasa (2005) mencatat, mengutip penelitian The Summer Institute of Linguistic, terdapat 726 bahasa daerah di seluruh kawasan Indonesia. Bahasa-bahasa itu memiliki penuturnya masing-masing. Ada yang dituturkan jutaan, beberapa ribu, bahkan hanya dinikmati beberapa puluh saja. Nah, bahasa Indonesia mempertemukan bangsa-bangsa yang sudah memiliki bahasa tuturnya sendiri. Bahasa Indonesia berdiri di tengah sebagai penyambung banyak lidah.
Nasib bahasa Indonesia diperteguh kehadiran Sumpah Pemuda yang ditulis dan dibaca-jelaskan oleh Muhammad Yamin pada kongres 28 Oktober 1928. Sumpah pemuda menjadi titik lain penegasan identitas bangsa Indonesia dengan bahasa resmi; bahasa Indonesia. Teks itu berbunyi: Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Teks ini gagah di tengah banyaknya bahasa yang ada di Indonesia. Teks itu menyihir dan mempersatukan pluraritas bahasa di Indonesia. Kita bersatu dan tergerak dalam rima yang satu. Ia menjadi pemicu untuk sadar terhadap hakikat bangsa yang dihuni oleh banyak suku. Teks ini memikat sekaligus memberikan harapan agar bangsa Indonesia bersedia mempersatukan kehendak. Ya, teks itu ampuh dan jitu membawa alam bawah sadar manusia Indonesia dalam tegangan nasionalisme. Teks ini menyelamatkan kemungkinan bahasa Belanda dijadikan bahasa sehari-hari.
Langkah strategis sudah dirumuskan Kepala Badan Pusat Bahasa Kemdikbud Agus Dhar ma untuk memperluas jangkauan bahasa Indonesia. Rencananya, di setiap negara, akan ditambah pusat bahasa dan kebudayaan Indonesia. Sampai kini, ada 150 pusat bahasa dan kebudayaan Indonesia di 48 negara.
Yang harus kita waspadai sekarang ini adalah ketidakpercaya-dirian bangsa Indonesia memanggul identitasnya sebagai bangsa. Meskipun sudah merdeka puluhan tahun, kita masih terus didikte oleh bangsa lain. Kenyataan itu bisa dilihat dari betapa menjamurnya kursus-kursus bahasa asing di mana-mana. Kita memang sudah selayaknya menghadapi zaman globalisasi ini dengan mampu menguasai berbagai bahasa, terutama bahasa yang digunakan sebagai bahasa internasional, antara lain bahasa Inggris dan Arab. Tapi, kita pun mesti mempertanyakan pada diri kita, apakah sudah menggunakan bahasa Indonesia dengan sebaik-baiknya berbahasa. Hal terkecil misalnya bagaimana kita menulis pesan singkat, atau menulis status di jejaring sosial.
Sering saya jumpai, banyak orang yang tidak sadar kalau mereka telah merusak bahasa Indonesia dengan cara menyingkat atau mengganti dengan huruf-huruf alay. Untuk hal yang demikian ini, barangkali kita harus malu dengan Jahja yang begitu gigih memperjuangkan kelayakan bahasa Indonesia digunakan di sidang Volksraad yang angker itu. Atau deklarasi sumpah pemuda yang salah satu poinnya menjunjung bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu. Maka itu, nasib bahasa Indonesia mestinya menjadi tanggungjawab kita semua. Jadi, bukan hanya lembaga kebudayaan pemerintah saja yang harus menjaga.
19 april 2013
2
Artikel “Bahasa
Indonesia Sebagai Jatidiri Bangsa”
17.30 Social, Tugas Kuliah 2 comments
Nama: Zulfindra
Juliant
NPM: 18110107
Kelas: 3KA24
(TKA10)
Mata Kuliah:
Bahasa Indonesia
Tugas: Artikel
“Bahasa Indonesia Sebagai Jatidiri Bangsa”
Bahasa Indonesia
Sebagai Jatidiri Bangsa
Era globalisasi
merupakan tantangan bagi bangsa Indonesia untuk dapat mempertahankan diri di
tengah-tengah pergaulan antarbangsa yang sangat rumit. Bangsa indonesia
dituntut untuk dapat mempersiapkan diri dengan baik dan penuh perhitungan.
Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah masalah jati diri bangsa yang
diperlihatkan melalui jati diri bahasa.
Mengapa hal ini
menjadi penting? Karena globalisasi dengan segala pengaruhnya akan berdampak
luas terhadap berbagai aspek kehidupan, terutama bahasa. Dengan bahasa yang
semakin global, terutama bahasa inggris, yang dipakai oleh hampir semua bangsa
di dunia. Memungkinkan adanya penggerusan terhadap bahasa-bahasa yang lebih
lemah dan tidak memiliki jati diri yang kuat.
Sehingga hal ini
dapat mengakibatkan bahasa yang terdapat pada suatu bangsa menjadi kehilangan
kedudukannya. Lalu bagaimana dengan bahasa indonesia? Pada saat sekarang mulai
tampak adanya indikasi ke arah sana. Dimulai dengan adanya kecenderungan
penamaan setiap perusahaan, reklame, tempat hiburan, tempat perbelanjaan, film,
gedung, dan banyak lainnya dengan bahasa asing, seperti Factory Outlet,
Cilandak Town Square, Bandung Super Mall, film “Get Married”, Lippo Bank, dan
contoh lainnya yang semakin hari semakin mendominasi.
Ditambah dengan
adanya fenomena bahwa bahasa asing lebih diprioritaskan oleh berbagai
masyarakat, terutama oleh kalangan masyarakat kelas atas yang dari segi
finansial cukup memadai. Adanya anggapan bahwa bahasa asing lebih bersifat maju
dan memiliki gengsi sosial yang lebih tinggi. Dibuktikan dengan banyaknya masyarakat
yang dengan bangga menggunakan bahasa asing di setiap kesempatan. Menjadikan
bahasa asing sesuatu yang penting untuk dikuasai dan dipelajari.
Bahkan di
beberapa media cetak dan media elektronik diketahui bahwa beberapa artis dan
masyarakat kelas atas lainnya mendidik, mengajari, dan menggunakan bahasa asing
(bahasa inggris) kepada anaknya sejak mereka belajar berbicara pertama kali.
Dengan alasan agar memudahkan anaknya kelak dalam menguasai bahasa asing ketika
berhadapan dengan era global, dimana dituntut memiliki keahlian berbahasa asing
yang baik, terutama bahasa asing.
Hal ini merupakan
suatu ironi yang sangat menyedihkan. Karena dengan alasan apapun, penggunaan
bahasa asing sejak mulai belajar berbicara adalah suatu sikap yang tidak dapat ditolerir.
Karena kebanggaan dan kehormatan terhadap bahasa indonesia sebagai bahasa
nasional dan bahasa negara tidak dapat dibeli dan tergantikan oleh apapun.
Harus dapat
dibedakan situasi yang terjadi di indonesia dengan negara lainnya semisal
Hongkong, India, Singapura, dan Malaysia. Di Hongkong, bahasa inggris merupakan
bahasa resmi kenegaraan. Di Singapura dan Malaysia, bahasa inggris digunakan
sebagai bahasa persatuan bagi berbagai etnis yang terdapat disana, seperti
Melayu, Tionghoa, dan India. Di India, bahasa inggris menjadi bahasa yang
sering digunakan karena keterikatan historis yang cukup kuat antara india dan
inggris. Sedangkan di Indonesia tidak ada sama sekali alasan dan pembenaran
terhadap sikap memprioritaskan bahasa asing, dalam hal ini bahasa inggris.
Seiring dengan
dinamika peradaban yang terus bergerak menuju arus globalisasi, bahasa
Indonesia dihadapkan pada persoalan yang semakin rumit dan kompleks. Pertama,
dalam hakikatnya sebagai bahasa komunikasi, bahasa Indonesia dituntut untuk bersikap
luwes dan terbuka terhadap pengaruh asing. Hal ini cukup beralasan, sebab
kondisi zaman yang semakin kosmopolit dalam satu pusaran global dan mondial,
bahasa Indonesia harus mampu menjalankan peran interaksi yang praktis antara
komunikator dan komunikan.
Artinya, setiap
peristiwa komunikasi yang menggunakan media bahasa Indonesia harus bisa
menciptakan suasana interaktif dan kondusif, sehingga mudah dipahami dan
terhindar dari kemungkinan salah tafsir.
Kedua, dalam
kedudukannya sebagai bahasa resmi, bahasa Indonesia harus tetap mampu
menunjukkan jatidirinya sebagai milik bangsa yang beradab dan berbudaya di
tengah-tengah pergaulan antarbangsa di dunia. Hal ini sangat penting disadari,
sebab modernisasi yang demikian gencar merasuki sendi-sendi kehidupan bangsa
dikhawatirkan akan menggerus jatidiri bangsa yang selama ini kita banggakan dan
kita agung-agungkan. “Ruh” heroisme, patriotisme, dan nasionalisme yang dulu
gencar digelorakan oleh para pendahulu negeri harus tetap menjadi basis moral
yang kukuh dan kuat dalam menyikapi berbagai macam bentuk modernisasi di
segenap sektor kehidupan. Dengan kata lain, bahasa Indonesia sebagai bagian
jatidiri bangsa harus tetap menampakkan kesejatian dan wujud hakikinya di
tengah-tengah kuatnya arus modernisasi.
Ketiga, bahasa
Indonesia dituntut untuk mampu menjadi bahasa pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi (Iptek) seiring dengan pesatnya laju perkembangan industri dan Iptek.
Ini artinya, bahasa Indonesia harus mampu menerjemahkan dan diterjemahkan oleh bahasa
lain yang lebih dahulu menyentuh aspek industri dan Iptek. Persoalannya
sekarang, mampukah bahasa Indonesia berdiri tegas di tengah-tengah tuntutan
modenisasi, tetapi tetap sanggup mempertahankan jatidirinya sebagai milik
bangsa yang beradab dan berbudaya? Sanggupkah bahasa Indonesia menjadi bahasa
pengembangan Iptek yang wibawa dan terhormat, sejajar dengan bahasa-bahasa lain
di dunia?masih setia dan banggakah para penuturnya untuk tetap menggunakan
bahasa Indonesia secara baik dan benar dalam berbagai wacana komunikasi?
Tanpa Sosialisasi
Kalau kita
melihat fakta di lapangan, perhatian dna kepedulian kita untuk menggunakan
bahasa Indonesia dengan baik dan benar, secara jujur harus diakui belum sesuai
harapan. Keluhan tentang rendahnya mutu pemakaian bahasa Indonesia sudah lama
terdengar. Ironisnya, belum juga ada kemauan baik untuk menggunakan sekaligus
meningkatkan mutu berbahasa. Tidak sedikit kita mendengar bahasa para pejabat
yang rancu dan payah kosakatanya sehingga menimbulkan kesalahpahaman dalam
penafsiran. Tidak jarang kita mendengar tokoh-tokoh publik yang begitu mudah
melakukan manipulasi bahasa. Yang lebih mencemaskan, kita masih terlalu
mengagungkan nilai-nilai modern sehingga merasa lebih terhormat dan terpelajar
jika dalam bertutur menyelipkan setumpuk istilah asing yang sudah ada
padanannya dalam bahasa Indonesia. Memang, bahasa Indonesia tidak
antimodernisasi. Bahasa kita cukup terbuka terhadap pengaruh bahasa asing. Akan
tetapi, rasa rendah diri (inferior) yang berlebihan dalam menggunakan bahasa
sendiri justru mencerminkan sikap masa bodoh yang bisa melunturkan kesetiaan,
kecintaan, dan kebanggaan terhadap bahasa sendiri. Haruskah bahasa Indonesia
disingkirkan sebagai tuan rumah di negeri sendiri?
Menurut hemat
penulis, kondisi di atas setidaknya dilatarbelakangi oleh dua sebab yang ckup
mendasar. Pertama, masih kuatnya opini di tengah-tengah masyarakat bahwa dalam
berbahasa yang penting bisa dipahami. Imbasnya, ketaatasasan terhadap kaidah
bahasa yang berlaku menjadi nihil.
Kaidah-kaidah
kebahasaan yang telah diluncurkan oleh Pusat Bahasa, eeprti Pedoman Umum Ejaan
yang Disempurnakan (EYD), Pedoman Umum Pembentukan Istilah Tata Bahasa Baku
Bahasa Indonesia, atau Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang diharapkan
menjadi acuan normatif masyarakat dalam berbahasa, tampaknya tidak pernah
“laku”. Persoalan kebahasaab seolah-olah hanya menjadi urusan para pakar,
pemerhati, dan peminata masalah kebahasaan. Yang lebih parah, masyarakat
menganggap bahwa kaidah bahasa hanya akan membuat suasana komunikasi menjadi
kaku dan tidak komunikatif.
Opini tersebut
diperparaha dengan minimnya keteladanan dari “elite” tertentu yang seharusnya
menjadi “patron” berbahasa yang baik dan benar, justru mempermainkan dan
memanipulasi bahasa sesuai dengan selera dan kepentingannya. Akibatnya, sikap
latah masyarakat kita yang cenderung paternalistik merasa tak “berdosa”, bahkan
menjadi sebuah kebanggan ketika meniru bahasa kaum “elite”.
Kedua, kurang
gencarnya pemerintah –dalam hal ini Pusat Bahasa sebagai “tangan
panjang”-nya—melakukan upaya sosialisasi kaidah bahasa kepada masyarakat luas,
bahkan bisa dikatakan nyaris tanpa sosialisasi. Pemerintah sekadar
menyosialisasikan slogan dan “jargon” kebehasaan dengan memanfaatkan momentum
seremonial tertentu dalam Bulan Bahasa. Dengan kata lain, slogan “Gunakanlah
Bahasa yang Baik dan Benar” yang sering kita baca lewat berbagai media
(cetak/elektronik) terkesan hanya sekadar retorika untuk menutupi sikap masa
bodoh dan ketidakpedulian dalam menangani masalah-masalah kebahasaan.
Kaidah bahasa
yang diluncurkan itu pada dasarnya bertujuan untuk menjaga kesamaan persepsi
dalam pemakaian bahasa, sehingga terjadi kesepahaman manka antara komunikator
dan komunikan. Dengan demikian, kebijakan para pakar atau perencana bahasa
dalam meng-“kodifikasi” kaidah mestinya harus tetap mengacu pada
kecenderungan-kecenderungan yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat
sehingga kaidah yang diluncurkan tidak kaku dan dipaksanakan. Kecenderungan
masyarakat yang sering menggunakan istilah asing , baik dalam ragam lisan
maupun tulis, harus diserap dan diakomodasi oleh para perencana bahasa sebagai
masukan berharga dalam merumuskan konsep kebahasaan pada masa yang akan datang.
Artinya, kecenderungan modernisasi bahasa yang kini mulai marak di
tengah-tengah masyarakat dalam berbagai ragama mesti disikapi secara arif.
Dengan kata lain, modrnisasi sangat diperlukan dalam menghadapi pusaran arus
global dan mondial sehingga bahasa kita benar-benar mampu menjadi bahasa
komunikasi yang praktis, efektif, luwes, dan terbuka. Namun demikian, kita
jangan sampai dalam modernisasi bahasa yang berlebihan sehingga melunturkan
kesetiaan, kecintaan, dan kebangaan kita terhadap bahasa nasional dan bahasa
negara.
Tiga Agenda
Pada sisi lain,
upaya pemakaian bahasa Indonesia dengan baik dan benar tampaknya hanya akan
menjadi slogan dan retorika apabila tidak diimbangi dengan gencarnya
sosialisasi kaidah bahasa baku di berbagai lini dan lapisan masayarakat.
Mengharapkan keteladanan generasi sekarang jelas merupakan hal yang berlebihan.
Berbahasa sangat erat kaitannya dengan kebiasaan dan kultur sebuah generasi.
Yang kita butuhkan saat ini ialah lahirnya sebuah generasi yang dengan amat
sadar memiliki tradisi berbahasa yang jujur, lugas, logis, dan taat asas
terhadap kaidah yang berlaku.
Berkenaan dengan
hal tersebut, setidaknya ada tiga agenda pokok yang penting segera digarap agar
mampu melahirkan sebuah generasi yang memiliki tradisi berbahasa yang baik dan
benar. Pertama, menjadikan lembaga pendidikan sebagai basis pembinaan bahasa.
Lembaga pendidikan merupakan sarana yang tepat untuk mencetak generas yang
memiliki kepekaan, emosional, sosial, dan intelektual. Bahasa jelas akan
terbina dengan baik apabila sejak dini anak-anak bangsa yang kini tengah gencar
menuntut ilmu dilatih dan dibina secara serius dan intensif. Bukan menjadikan
mereka sebagai pakar bahasa, melainkan bagaimana mereka mampu menggunakan
bahasa dengan baik dan benar peristiwa tutur sehari-hari, baik dalam ragam
lisan maupun tulisan. Tentu saja, hal ini memerlukan kesiapan fasilitas berbahas
ayang memadai dengan bimbingan guru yang profesional.
Kedua,
menciptakan suasana lingkungan yang kondusif yang mampu merangsang anak untuk
berbahasa dengan baik dan benar. Media televisi yang demikian akrab dengan
dunia anak harus mampu memberikan contoh penggunaan bahasa Indonesia yang baik,
bukannya malah melakukan “perusakan” bahasa melalui ejaan, kosakata, maupu
sintaksis seperti yang banyak kita saksikan selama ini. Demikian juga fasilitas
publik lain yang akrab dengan dunia anak, harus mampu menjadi media alternatif
dengan memberikan telada berbahasa yang benar setelah para orang tua gagal
menjadi “patron” dan anutan.
Ketiga,
menyediakan buku bacaan yang sehat dan mendidik bagi anak-anak. Buku bacaan
yang masih menggunakan bahasa yang kurang baik dan benar harus dihindarkan
jauh-jauh dari sentuhan anak-anak. Proyek pengadaan Perbukuan Nasional harus
benar-benar cermat dan teliti dalam menganalisis buku dari aspek bahasanya.
Melalui ketiga
agenda tersebut, bahasa Indonesia diharapkan benar-benar mampu melahirkan
generasi yang maju, mandiri, dan modern, yang pada gilirannya benar-benar akan
menjadi bahasa komunikasi yang praktis dan efektif di tengah-tengah peradaban
global yang terus gencar menawarkan perubahan dan dinamika kehidupan. Dengan
kata lain, bahasa Indonesia akan menjadi bahasa yang moden, tetap tetap menjadi
jatidiri dari sebuah bangsa yang beradab dan berbudaya.
19 april 2013
3
Artikel bahasa indonesia sebagai alat komunikasi
Bahasa sebagai alat komunikasi, bahasa merupakan
alat untuk merumuskan maksud kita. Dengan komunikasi, kita dapat menyampaikan
semua yang kita rasakan, pikirkan, dan ketahui kepada orang lain. Dengan
komunikasi, kita dapat mempelajari dan mewarisi semua yang pernah dicapai oleh
nenek moyang kita dan apa yang telah dicapai oleh orang-orang sejaman kita.
Bahasa adalah alat untuk berkomunikasi melalui lisan (bahsa primer) dan tulisan
(bahasa sekunder). Berkomunikasi melalui lisan (dihasilkan oleh alat ucap
manusia), yaitu dalam bentuk symbol bunyi, dimana setiap simbol bunyi memiliki
cirri khas tersendiri. Suatu simbol bisa terdengar sama di telinga kita
tapi memiliki makna yang sangat jauh berbeda. Misalnya kata ’sarang’ dalam
bahasa Korea artinya cinta, sedangkan dalam bahasa Indonesia artinya
kandang atau tempat.
Tulisan adalah susunan dari
simbol (huruf) yang dirangkai menjadi kata bermakna dan dituliskan. Bahasa
lisan lebih ekspresif di mana mimik, intonasi, dan gerakan tubuh dapat
bercampur menjadi satu untuk mendukung komunikasi yang dilakukan. Lidah setajam
pisau / silet oleh karena itu sebaiknya dalam berkata-kata sebaiknya tidak
sembarangan dan menghargai serta menghormati lawan bicara / target komunikasi.
Bahasa sebagai sarana komunikasi mempunyaii fungsi utama bahasa adalah
bahwa komunikasi ialah penyampaian pesan atau makna oleh seseorang kepada orang
lain. Keterikatan dan keterkaitan bahasa dengan manusia menyebabkan bahasa
tidak tetap dan selalu berubah seiring perubahan kegaiatan manusia dalam
kehidupannya di masyarakat.
Perubahan bahasa dapat terjadi
bukan hanya berupa pengembangan dan perluasan, melainkan berupa kemunduran
sejalan dengan perubahan yang dialami masyarakat. Terutama pada penggunaan
Fungsi komunikasi pada bahasa asing Sebagai contoh masyarakat Indonesia lebih
sering menempel ungkapan “No Smoking” daripada “Dilarang Merokok”, “Stop” untuk
“berhenti”, “Exit” untuk “keluar”, “Open House” untuk penerimaan tamu di rumah
pada saat lebaran. Jadi bahasa sebagai alat komunikasi tidak hanya dengan satu
bahasa melainkan banyak bahasa.
19 april 2013
Tidak ada komentar :
Posting Komentar